PENGGUNAAN OBAT
Jika penggunaan antibiotik
dilakukan secara berlebihan terus-menerus akan berdampak pada resistance-nya
bakteri juga tubuh ikan
Tidak bisa dipungkiri, isu ikan konsumsi global masa kini tak jauh dari kualitas ikan itu sendiri. Dan, jaminan kualitas ikan yang dikonsumsi lokal maupun dunia, haruslah terbebas dari penyakit. “Keamanan pangannya juga terjamin, yang dalam hal ini bebas dari kandungan berbahaya, juga harus sudah tersertifikasi agar mudah dilakukan ketelusuran, jika dikemudian hari terjadi hal yang kurang baik,” jelas Kepala Balai Besar Pengembangan Budidaya Air Tawar (BBPBAT) Sukabumi-Jawa Barat (Jabar), Supriyadi.
Ia menjelaskan, ada contoh yang menjadi suatu peringatan terhadap perikanan budidaya dari data yang dikeluarkan Tim Komisi Kesehatan Ikan dan Lingkungan Tahun 2014. Hasil survei lapangan menunjukkan bahwa dalam budidaya perikanan yang dibagi ke dalam tiga sektor yaitu budidaya air tawar, payau, dan laut mengalami kerugian yang sangat besar.
“Estimasi kerugian finansial per tahun akibat penyakit ikan pada budidaya air tawar sebesar Rp 672,5 miliar, budidaya air payau Rp 3,9 triliun dan budidaya air laut Rp 700 miliar. Angka-angka tersebut merupakan nilai potensial pendapatan para pembudidaya. Padahal, jika tidak terjadi kerugian maka akan berdampak baik pada perekonomian dalam negeri,” ungkap Supriyadi dalam pelatihan mengenai penanganan hama dan penyakit di Cabang Dinas Kelautan dan Perikanan Wilayah Utara (CDKPWU) Patok Beusi, Subang-Jabar beberapa waktu lalu.
Regulasi
Supriyadi mengingatkan, kualitas ikan yang dikonsumsi ini sangat tergantung dari hulunya, alias dari sisi pembudidayaannya. Untuk itulah, menurut Supriyadi, betapa pentingnya para pembudidaya mengetahui cara berbudidaya ikan yang baik, dan juga pencegahan serta penanggulangan penyakit.
Ia lanjut menjelaskan, di samping dari sisi pembudidaya, pemerintah juga berperan dalam menjaga kualitas ikan. “Misalnya, pemerintah mengatur penggunaan obat-obatan apa saja yang baik digunakan sehingga tidak mengganggu ekosistem lingkungan budidaya,” terang Supriyadi.
Lanjutnya, terdapat banyak sekali obat-obatan baik yang diproduksi secara home industry (rumahan) sampai ke level pabrikan. Semuanya harus tersertifikasi oleh pemerintah dan merujuk pada Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia nomor 52/KEPMEN-KP/2014 tentang klasifikasi obat ikan. Dalam Kepmen tersebut diatur juga larangan pemberian obat-obatan ikan yang sekiranya bisa residu di dalam daging ikan juga dapat merusak lingkungan.
“Di lapangan, pembudidaya juga harus cermat dalam menggunakan obat-obatan. Cara mudahnya jika kemasan obat ikan tersebut sudah ada nomor registrasi dari Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) maka akan ada kodenya seperti KKP-RI. No. sekian-sekian. Maka obat ikan atau udang tersebut sudah disertifikasi oleh pemerintah, namun tetap memperhatikan dosis penggunaannya,” jelas Supriyadi.
Supriyadi juga menyampaikan, dimana penggunaan obat-obat ikan harus tepat guna dan tepat dosis. Lebih rinci Supriyadi menjelaskan, terdapat beberapa obat keras yang diizinkan oleh pemerintah namun tetap harus memakai aturan dosis yang tepat, seperti Methylene blue, Basic Bright Green Oxalate, Acriflavine. “Semua obat-obatan yang diizinkan oleh pemerintah seharusnya menjadi acuan para pembudidaya, semua dapat dilihat di KEPMEN-KP No.52/KEPMEN-KP/2014,” tuturnya.
Kepala Badan Karantina Ikan, Pengendalian Mutu dan Keamanan Hasil Perikanan (BKIPM) Bandung, Deddy Arief Hendriyanto menyampaikan hal senada dengan Supriyadi. Penggunaan obat-obatan dikalangan para pembudidaya, imbuhnya, harus diperhatikan.
Selengkapnya baca di majalah TROBOS Aqua Edisi-74/15 Juli – 14
Agustus 2018
Tidak ada komentar:
Posting Komentar