Jumat, 10 Agustus 2018

BUDIDAYA IKAN GABUS


BUMINNYA. NAMUN SAAT INI PASOKANNYA MASIH TERBATAS

Prospek Bagus Budidaya Gabus
Ikan predator yang sebelumnya dicap sebagai hama pada kolam-kolam budidaya, terutama kolam tanah ini, kini mulai dilirik menjadi salah satu komoditas budidaya. Predator tersebut tak lain adalah ikan gabus. Beberapa daerah memiliki preferensi menjadikan ikan tersebut sebagai ikan konsumsi. Ada juga yang menjualnya secara eceran di pinggir-pinggir jalan seperti di daerah Parung, Bogor.

Ikan gabus masih sedikit asing didengar sebagai komoditas budidaya. Faktanya di lapangan juga masih sangat sedikit pembudidaya yang menjadikan gabus sebagai komoditas peliharaan. TROBOS Aqua berhasil menemui salah satu pembudidaya yang memelihara ikan gabus untuk tujuan komersil yakni Manajer Produksi bidang perikanan PT Inagro, Budi Hartono.

Menurut pengamatannya, ikan gabus memiliki prospek yang cukup bagus. Pasalnya masih sangat jarang pembudidaya yang mau secara serius menjadikan gabus sebagai komoditas budidaya. Padahal saat ini permintaannya sudah mulai ada. Tidak hanya untuk konsumsi, bahkan kandungan albumin yang tinggi membuat ikan ini dilirik juga oleh stakeholder farmasi untuk dijadikan sumber/bahan baku obat bagi pasien yang baru selesai menjalankan operasi. “Albumin gabus itu hampir 70 persen,” Jelas Budi.

Tetapi beragam potensi pemanfaatan ikan gabus ini belum ditunjang oleh kontinuitas pasokannya. Ikan-ikan gabus konsumsi yang dijual eceran pun masih kebanyakan hasil tangkapan dari alam. Sehingga hal tersebut membuat Budi berani untuk mencoba membudidayakan gabus. Ia bahkan belajar langsung dari Thailand yang telah berhasil mengembangkan ikan tersebut dengan baik.


Segmentasi Produksi
Budi banyak mengadopsi sistem budidaya yang sudah diterapkan di Thailand dengan tetap melakukan perbaikan pada bagian-bagian yang masih dinilai kurang. “Saya terapin di sini, tapi banyak yang saya ubah, karena di sana masih ada kekurangan,” ujarnya.

Budi membagi segmentasi produksi ikan gabus sekurang-kurangnya menjadi 3 bagian. Pertama, pemijahan dan penetasan telur hingga usia sekitar 2 minggu dengan ukuran 1 inci. Pada segmen ini pemeliharaan dilakukan dalam farm yang tertutup. Segmen kedua adalah pendederan dari ukuran 1 inch hingga ukuran 2 - 3 inci. Segmen ini dilakukan dalam kolam terpal terbuka. Segmen terakhir adalah pembesaran selama kurang lebih 8 bulan dari 3 inch lebih hingga ukuran konsumsi.

Pada tahap pemijahannya, Budi menggunakan dua metode berbeda, alami dan semi alami. Pemijahan alami dilakukan dalam sebuah bak di mana beberapa pasang induk disatukan tanpa ada perlakuan lainnya. Sementara pemijahan semi alami menggunakan penyuntikan hormon untuk merangsang pematangan gonad dan pemijahan. “Itu ada yang saya suntik. Ada yang saya masalin. Misal kolam ini saya kasih 10 pasang” ujar pria yang sering mengadakan pelatihan budidaya gabus di lokasinya itu.

Untuk menjalankan budidaya dalam skala usaha, kata Budi, pembudidaya bisa mengambil pilihan antara segmen pendederan dan pembesaran. Keduanya memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing. Kelebihan dari usaha menghasilkan benih (pendederan) sendiri memiliki waktu yang relatif lebih singkat, tetapi teknis pemeliharaannya sendiri cukup berisiko. Karena seperti ikan pada umumnya, stadia benih merupakan stadia yang riskan kematian.

Terlebih gabus ini mirip dengan ikan lele yang memiliki organ pernapasan tambahan. Proses pembentukan organ tersebut terjadi pada stadia benih. Menurut Budi, proses tersebut diduga sebagai penyebab benih gabus rentan mati karena kondisnya yang belum stabil. “Kalu lingkungan tidak mendukung, di situ lah bisa drop,” ujar Budi.
 


Selengkapnya baca di majalah TROBOS Aqua Edisi-70/15 Maret – 14 April 2018


Tidak ada komentar:

Posting Komentar