Senin, 16 Desember 2019

Pengaruh Vitamin C pada Ikan Lele


PENGARUH PENAMBAHAN VITAMIN C (Ascorbic Acid)
PADA PAKAN KOMERSIAL TERHADAP KETAHANAN BENIH LELE DUMBO (Clarias sp. Burchell) TERHADAP INFEKSI BAKTERI Aeromonas hydrophila Stainer


Taukhid Taukhid, Hambali Supriyadi, Nenden Dalis Asmaeni

Abstract

Riset ini bertujuan untuk mengetahui jumlah optimal penambahan vitamin C ke dalam pakan ikan lele dumbo yang dapat memberikan ketahanan tubuh maksimal terhadap infeksi bakteri Aeromonas hydrophila. Perlakuan yang diterapkan terdiri atas (A) pakan komersial tanpa penambahan vitamin C sebagai kontrol, (B) penambahan vitamin C sebanyak 250 mg/kg pakan, (C) penambahan vitamin C sebanyak 500 mg/kg pakan, (D) penambahan vitamin C sebanyak 750 mg/kg pakan, dan (E) penambahan vitamin C sebanyak 1.000 mg/kg pakan. Pakan diberikan selama 62 hari, dan pada hari ke-56 dilakukan uji tantang terhadap bakteri A. hydrophila konsentrasi 1,0 x 106 cfu/mL yang diberikan melalui penyuntikan intra muskular (IM) sebanyak 0,1 mL/ekor ikan uji. Pengamatan dilakukan terhadap kadar titer antibodi spesifik, gejala klinis, dan sintasan setelah uji tantang serta kadar vitamin C dalam hati ikan. Hasil riset menunjukkan bahwa penambahan vitamin C pada pakan dapat meningkatkan ketahanan tubuh ikan uji terhadap infeksi bakteri A. hydrophila, dan nilai titer antibodi spesifik mengalami peningkatan yang mulai terlihat pada minggu ke-IV. Pada akhir pengamatan diperoleh sintasan ikan uji sebesar 68%, 78%, 92%, 96%, dan 92% masing-masing untuk kelompok kontrol, perlakuan B, perlakukan C, perlakuan D, dan perlakuan E. Berdasarkan analisis regresi dapat didekati bahwa jumlah optimal vitamin C untuk memperoleh level proteksi yang cukup tinggi dengan sintasan 98,86% adalah sebesar 893 mg/kg pakan.

Pusat Riset Perikanan, BRSDMKP

Senin, 09 Desember 2019

Nila Nirwana III


Dua ikan konsumsi baru yang bongsor, cepat panen, dan gurih.
Marwana, ikan mas baru hasil pemuliaan Balai Pengembangan Budidaya Ikan Nila dan Mas (BPBINM) Wanayasa, Purwakarta, Jawa Barat.
Marwana, ikan mas baru hasil pemuliaan Balai Pengembangan Budidaya Ikan Nila dan Mas (BPBINM) Wanayasa, Purwakarta, Jawa Barat.
Mobil bak terbuka memasuki halaman rumah Jejen Syamsudin. Peternak di Purwakarta, Provinsi Jawa Barat, itu segera menaikkan plastik berisi ikan nila berukuran 8—12 cm atau sangkal. Itu benih berumur 2,5 bulan atau 70 hari. Setiap kg terdiri atas 100 ekor. Jejen panen ikan nila 30 hari lebih cepat daripada jenis lain, yang memerlukan waktu hingga 100 hari. Artinya, Jejen memangkas biaya pakan.
Sudah begitu, harga jual bibit nila milik Jejen lebih tinggi daripada bibit nila lain. Jejen menjual Rp20.000 sedangkan harga nila lain hanya Rp12.000 per kilogram bibit. Hasil perniagaan 270 kg bibit menghasilkan Rp5,4-juta. Keruan saja ia mendapatkan untung lebih tinggi. Kesuksean itu karena Jejen menggunakan ikan nila nirwana III hasil pemuliaan Balai Pengembangan Budidaya Ikan Nila dan Mas (BPBINM) Wanayasa, Purwakarta, Jawa Barat.
Ras wanayasa
Pertumbuhan nila nirwana III untuk konsumsi juga lebih cepat, yakni hanya 3—4 bulan untuk mencapai bobot konsumsi 300—500 gram per ekor pada pemeliharaan di karamba jaring apung dan kolam air deras. Itu dengan ukuran benih 8—12 cm saat penebaran dan populasi 100—200 ekor per m². Bandingkan dengan lama budidaya nila lain yang mencapai 5—6 bulan untuk mencapai bobot sama, ukuran dan padat tebar yang sama. Dengan demikian peternak menghemat pakan.
Percepat pertumbuhan ikan naikkan hasil panen.
Percepat pertumbuhan ikan naikkan hasil panen.
Rasio konversi pakan atau feed converstion ratio nirwana III lebih efisen 29% dibandingkan dengan Nirwana II, pada saat uji banding atau komparasi. Artinya 1 kg pakan menghasilkan 0,29 kg daging. Nirwana hasil pemuliaan kegiatan selektif breeding dengan metode seleksi famili telah digunakan sebagai satu metode efektif untuk mendapatkan strain induk nila yang lebih unggul. Sebelumnya BPBINM merilis nirwana I pada 2006 dan nirwana II pada 2011. Adapun nirwana III jenis terbaru yang rilis pada 2016.
Menurut pemulia nirwana III, Dr Alimudin, pertumbuhan nila baru itu 30—32% lebih cepat daripada nirwana II. Ia menambahkan sumber genetik baru dari nila asal Kenya dan genomar asal Norwegia. “Tujuannya mempercepat pertumbuhan sehingga lebih cepat panen dan menghasilkan ikan berukuran lebih besar,” kata Alimudin yang juga dosen Budidaya Perairan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor.
Teknisi pemuliaan di Balai Pengembangan Budidaya Ikan Nila dan Mas (BPBINM) Wanayasa, Purwakarta, Provinsi Jawa Barat, Arief Maulana Syam A Md.
Teknisi pemuliaan di Balai Pengembangan Budidaya Ikan Nila dan Mas (BPBINM) Wanayasa, Purwakarta, Provinsi Jawa Barat, Arief Maulana Syam A Md.
Teknisi pemuliaan BPBINM, Arief Maulana Syam AMd, mengatakan, ciri khas nirwana III berkepala relatif kecil dengan tubuh lebar ke atas. Itu membuat ukurannya sepintas lebih kecil. Padahal, daging di belakang kepala atau punggung lebih tebal sehingga persentase karkas lebih tinggi daripada nila lain. Uji kualitas daging membuktikan, nirwana III berkadar protein 85,72%, lemak 2,52%, bahan ekstrak tanpa nitrogen 6,67%, dan abu 5,09%. Citarasa daging sangat gurih
Pengukuran morfometrik pada saat uji fenotop menunjukkan nirwana jantan berukuran 22,18 cm, tinggi 8,95, dan tebal 3,37 cm. Ikan betina berwarna abu-abu berukuran 19,62 cm, tinggi 8,12 cm, dan tebal 3,40 cm. Nirwana mampu hidup pada air bersalinitas 5—20 ppm, suhu 20—32°C, pH 5,1—8,3, oksigen terlarut (DO) 3,2—6,7, dan kadar amonia kurang dari 0,01 mg per liter air. Sebelum rilis, para pemulia menguji coba di 3 ekosistem berbeda, yaitu kolam arus deras, kolam air tenang, dan kolam jaring apung. Di ketiga tempat itu nirwana III tumbuh baik, meski ada perbedaan hasil.
Nirwana III, nila baru dengan pertumbuhan hingga 30% lebih cepat.
Nirwana III, nila baru dengan pertumbuhan hingga 30% lebih cepat.
Itu berkaitan dengan perbedaan oksigen terlarut, arus air, dan pakan tambahan yang berkembang di kolam budidaya. Meski demikian, Alimudin mengakui bahwa nirwana III cenderung rentan penyakit. Musababnya, gen yang berhubungan dengan kekebalan terkait dan berbanding terbalik dengan kecepatan pertumbuhan. Artinya, pertumbuhan cepat mengorbankan ketahanan terhadap penyakit.
Nila Oreochromis niloticus baru itu rentan serangan cendawan Streptococcus agalactiae penyebab penyakit streptokokusis. Serangan cendawan itu menyebabkan kematian hingga 60%. Namun, peternak bisa mengantisipasi dengan vaksinasi, perbaikan kualitas air, dan disinfeksi sarana budidaya sebelum pemeliharaan. Selain nila baru, BPBINM Wanayasa juga meluncurkan jenis ikan mas baru, yakni marwana—akronim dari ikan mas ras wanayasa.
Ikan mas baru
Keunggulan marwana antara lain cepat tumbuh, lebih bongsor dengan proporsi tubuh lebih panjang dan lebih tinggi, dan tahan penyakit koi herpes virus serta aeromonas. Kelebihan itu warisan beberapa ras unggulan yang menjadi indukan seperti ikan mas rajadanu, wildan, kuningan (sutisna), dan majalaya. Pada ikan mas gen pertumbuhan dan ketahanan terhadap penyakit tidak berlawanan. Pemulia dapat merancang ikan cepat tumbuh dan tahan penyakit.
Peternak di Purwakarta, Provinsi Jawa Barat, Jejen Syamsudin, membudidayakan nila ras wanayasa sejak 2010.
Peternak di Purwakarta, Provinsi Jawa Barat, Jejen Syamsudin, membudidayakan nila ras wanayasa sejak 2010.
Lazimnya ikan mas mencapai ukuran panen berbobot 200 gram pada 6 bulan. Sementara marwana mencapai ukuran sama pada umur 4 bulan. Pengukuran morfometrik pada saat uji fenotip menunjukkan panjang standar marwana 21,5—33 cm dengan rasio baku panjang standar per tinggi tubuh 2,30—2,41. Ketahanan terhadap penyakit KHV mencapai 0,42—97,78% kali lebih tinggi daripada ikan mas biasa. Sementara ketahanan terhadap bakteri Aeromonas hydrophila mencapai 50% atau 2,75 kali ikan mas biasa.
Pertumbuhan Cyprinus carpio yang cepat itu menjadikan peternak tidak memerlukan obat pemacu. Dalam satu siklus budidaya, pembudidaya di karamba jaring apung atau air deras, dalam 1 wadah pemeliharaan Rp300.000—500.000. Secara ekonomis, marwana memiliki umur panen yang lebih pendek sehingga konversi pakan yang lebih rendah. Rasio konversi pakan atau feed converstion ratio lebih efisien 29,16% dibandingkan dengan ikan mas lokal. Artinya 1 kg pakan dapat menghasilkan 0,29 kg daging. Soal rasa, “Daging marwana lebih gurih,” kata Arief. (Muhammad Awaluddin)

sumber : Trubus

Senin, 02 Desember 2019

JENIS IKAN NILA UNGGULAN





Oleh :
A.Anwar Nugroho, S.St.Pi
Penyuluh Perikanan
L-14/2014


 
1. Ikan nila srikandi
Pada tahun 2012 jenis ikan nila srikandi ini telah di rilis oleh menteri kelautan dan perikanan, dimana ikan srikandi ini di hasilkan oleh balai penelitian pemuliaan ikan (BPPI) dan keunggulan dari ikan nila yang satu ini yaitu tahan terhadap berbagai macam jenis penyakit dan sangat cocok bila di budidayakan di air payau.
 2. Ikan nila best
Ikan nila yang satu ini juga mempunyai beberapa  keunggulan yang lebih baik bila di bandingkan dengan ikan nila lokal yang biasa di budidayakan di masyarakat pada umum nya, dan ikan ini memiliki ketahanan penyakit mencapai 140 %, Fekunditas 3 sampai 5 kali, sedangkan sintasan nya dari 84,4 sampai 93,3% dan nilai tersebut di percaya lebih tinggi 8% di bandingkan ikan lokal.
Selain itu ikan nila jenis ini juga mempunyai keunggulan yang menguntungkan para peternak ikan nila, jika ikan nila lokal yang biasa di ternak di masyarakat memerlukan waktu selama 6 bulan untuk mencapai berat  400 sampai 500 gram/ekor, ikan nila jenis ini hanya membutuhkan waktu 4 bulan saja.
 3. Ikan nila gesit
Ikan jenis ini sama juga dengan ikan nila yang biasa di pelihara oleh masyarakat pada umum nya yaitu untuk mendapatkan 400 sampai 500 Gram/ekor nya memerlukan waktu sekitar 6 bulan, namun ikan ini sangat gesit dan lincah sesuai nama nya.
 4. Ikan nila nirwana
Ikan nila yang satu ini berhasil di kembangkan oleh Balai Benih Ikan Wanayasa Purwakarta Jawa Barat. Keunggulan dari ikan yang satu ini yaitu dapat berkembang dengan cepat yaitu untuk mendapatkan bobot 1 kg hanya memerlukan waktu sekitar 6 bulan saja.
 5. Ikan nila larasati
Ikan nila jenis ini adalah ikan nila hasil persilangan antara ikan nila merah dan ikan nila hitam, ikan nila ini mempunyai keunggulan yang lumayan bagus dan bermanfaat yaitu dapat berkembang dengan cepat dan mempunyai daging yang lebih banyak.
 6. Ikan nila jatimbulan
Ikan ini adalah jenis ikan hasil rekayasa yang di lakukan oleh Unit pelaksana teknis PBAT Jawa Timur, dan keunggulan dari ikan ini yaitu mempunyai daging yang lebih kenyal dan pertumbuhan ikan ini juga lebih cepat bila di bandingkan dengan ikan nila lokal.


Sumber : http://hewan.co/jenis-jenis-ikan-nila-paling-unggul

Senin, 21 Oktober 2019

SUKSES PROGRAM PAKAN IKAN MANDIRI DI LAMPUNG


SUKSES PROGRAM PAKAN IKAN MANDIRI DI LAMPUNG
Lampung – Pakan mandiri semakin menjadi andalan pembudidaya ikan skala kecil, terbukti pemanfaatannya mampu memberikan nilai tambah keuntungan hingga 2 – 3 kali lipatnya, karena mampu menekan biaya produksi 30% hingga 50%. Disisi kualitas, pakan mandiri mampu bersaing dengan pakan pabrikan dengan harga yang lebih murah.

Demikian disampaikan oleh Direktur Jenderal Perikanan Budidaya, Slamet Soebjakto, saat temu lapang Gerpari (Gerakan Pakan Ikan Mandiri) Se-Provinsi Lampung di Desa Marga Agung Kec. Jati Agung, Lampung Selatan, Rabu (25/9).

“Pemanfaatan pakan mandiri terbukti menjadikan pembudidaya lebih berdaya dan ekonomi mereka akan semakin meningkat pula, sehingga program ini harus terus didorong di seluruh Indonesia”, tutur Slamet.

Menurut Slamet, setidaknya ada 7 (tujuh) langkah strategi untuk mencapai kemandirian pakan ikan nasional. Pertama, memastikan pakan mandiri diproduksi melalui prinsip-prinsip Cara Pembuatan Pakan Ikan yang Baik (CPPIB). Ini untuk memastikan kualitas pakan dapat diterima dan dipercaya oleh masyarakat pembudidaya ikan.

“Pakan mandiri ini harus memberikan nilai FCR (Food Convention Ratio) dibawah 1, lalu daya cerna nya tinggi sehingga meningkatkan efisiensi produksi budidaya. Harga pakan mandiri terjangkau namun berkualitas, kalau murah tapi FCR-nya tinggi maka biaya produksi juga akan semakin tinggi”, pungkasnya.

Selain itu, pakan yang diproduksi ini harus minim dampaknya ke lingkungan sekitarnya. “Pastikan pakan yang diproduksi rendah kandungan fospor, karena unsur ini akan menyebabkan blooming alga akan menyebabkan kesuburan perairan yang dapat membahayakan metabolisme ikan budidaya”, tegasnya.

Langkah kedua, mendorong penggunaan bahan baku alternatif berbasis lokal. “Penggunaan bahan baku lokal yang berpotensi artinya bahan ini tidak bersaing untuk peruntukan industri lain, tersedia sepanjang tahun dengan harga yang konstan serta yang paling utama kandungan gizinya tinggi”, ucap Slamet.

Ia mengakui jenis bahan baku lokal di Indonesia sangat beragam, namun informasi mengenai nilai nutrisi, anti nutrisi, ketersediaan dan rekomendasi penggunaan dalam pakan ikan masih sedikit. “Sudah banyak kelompok yang memproduksi pakan mandiri berbahan baku lokal, jadi mereka harus saling berbagi infomasi kepada kelompok lain sehingga akan memperbanyak referensi terkait bahan baku alternatif lokal”, bebernya.

Langkah ketiga ialah pendampingan bagi kelompok-kelompok pembudidaya ikan maupun kelompok pembuat pakan. “Melalui kegiatan penyuluhan pembudidaya ikan diajarkan cara pembuatan pakan skala rumah tangga mulai dari pemilhan bahan baku, memformulasikan pakan, proses pembuatan pakan hingga pengemasan dan penyimpanan pakan”, ujarnya.

Ia menyebutkan ada 15 Unit Pelaksana Teknis (UPT) lingkup Ditjen Perikanan Budidaya di seluruh Indonesia yang dapat dijadikan referensi atau tempat belajar bagaimana memproduksi pakan ikan mandiri.

Keempat terkait dengan kelembagaan. “Kedepannya, akan ada kelompok-kelompok khusus gerakan pakan ikan mandiri biar kelompok pembudidaya ikan fokus saja memproduksi ikan. Untuk kelompok pakan mandiri tugasnya memproduksi pakan mandiri mulai dari tahap pengadonan, pencetakan, pengeringan hingga pengemasan, sedangkan untuk penyedia, penyiapan bahan baku dan membuat formulasi pakan akan dilakukan kelompok formulasi pakan”, kata Slamet.

Slamet menambahkan untuk pengelolaan usaha pakan mandiri ini akan dibentuk koperasi khusus yang membantu dalam hal pengaturan keuangan. “Kelompok-kelompok ini akan menjadi wadah kerjasama antar anggota dan pihak lain untuk mencapai skala ekonomi dari segi kuantitas, kualitas, dan kontinuitasnya, serta mampu menghadapi berbagai tantangan dan masalah yang mereka hadapi”, pungkasnya.

Lalu langkah kelima yaitu mempermudah proses registrasi pakan. “Kedepannya, tidak ditutup kemungkinan bahwa pakan-pakan mandiri akan dikomersilkan, sehingga jejaring pemasarannya juga akan bertambah, namun sebelum beredar pakan ini harus teregistrasi dan terdaftar sehingga dapat diterima di masyarakat”, tutur Slamet.

“Nantinya pelayanan izin peredaran pakan melalui Online Single Submission (OSS), dengan terintegrasinya secara elektronik diharapkan prosesnya lebih efisien, transparan dan akuntabel”, sebut Slamet.

Kemudian keenam, memperkuat kerjasama dengan berbagai pihak khususnya asosiasi pakan ikan. “Peran asosiasi disini, untuk membantu pengembangan bahan baku lokal untuk mengurangi ketergantungan impor bahan baku khususnya tepung ikan, kemudian pengembangan dan inovasi mesin pakan aplikatif yang mudah dioperasikn dan mudah perawatan”, ujar Slamet.

Terakhir, kata Slamet, perlu riset-riset dalam pengembangan pakan mandiri sehingga nantinya dapat diterapkan pada pembudidaya ikan.

Sebagai bukti keberhasilan pakan mandiri di Provinsi Lampung, Perhimpunan Kelompok Pembudidaya Ikan Mandiri Sentosa di Desa Marga Agung Kecamatan Jati Agung Lampung Selatan berhasil memproduksi pakan ikan mandiri dengan memanfaatkan berbagai bahan baku lokal.

“Kami berhasil memproduksi 15 – 18 ton pakan ikan per bulan, sementara sebagian besar memang masih untuk mencukupi kebutuhan sendiri, sebagian lagi dijual untuk pembudidaya ikan di Lampung Selatan dengan harga Rp. 6 ribu – Rp. 7 ribu per kg”, Akhmad Komari, Ketua Kelompok Mandiri Sentosa.

Diakui juga oleh Suroto pengguna pakan mandiri buatan Kelompok Mandiri Sentosa bahwa kualitas pakan ini bisa menurunkan FCR. “Kalau dulu FCR 1:1,5 sekarang jadi 1:1. Sekarang bisa panen lele setiap 2 bulan sekali, jadi keuntunganya per musim bisa dua kali lipat”, terang Suroto.

Disamping itu, Kelompok Mandiri Sentosa bersama Tim Pengabdian Masyarakat Institut Teknologi Sumatera (ITERA) sedang mengembangkan tanaman legum atau dikenal dengan indigofera sebagi bahan baku alternatif peganti tepung ikan. Beberapa referensi menyebutkan, Indigofera mengandung protein sebesar 23 - 26%, selain itu kaya serat dan kalsium.

“Indigofera ini akan menjadi sumber pakan berkualitas tinggi dan paling penting tersedia sepanjang tahun jadi bisa didapatkan meskipun pada musim kemarau", tambah Akhmad.

Sukses serupa juga dialami pokdakan di Kabupaten Probolinggo. Ketua Berkah Siangon, Wahyudiono menyebutkan pokdakan-nya mampu memproduksi pakan ikan air tawar sebanyak 5 – 6 ton per bulan untuk mencukupi kebutuhan pakan bagi pembudidaya ikan di Kecamatan Sumberasih Probolinggo dan sekitarnya dengan 100% mengandalkan bahan baku lokal yang ada seperti ikan rucah, dedak padi, bungkil kopra, ampas kecap dan tepung biskuit.

Dengan pemanfaatan pakan mandiri produksi Berkah Siongan ini, terbukti daya cerna ikan lele menjadi lebih baik. Nilai FCR (konversi pemanfaatan pakan) lele dari 1,5 dengan memanfaatkan pakan pabrikan turun menjadi 1,2 dengan penggunaan pakan mandiri tersebut sehingga margin pembudidaya naik 50%, dulu keuntungan per kg nya hanya Rp. 4 ribu sekarang jadi Rp. 6 ribu.

Pokdakan Ngupono Mina di Sleman DI Yogjakarta juga merasakan manfaat dengan menggunakan pakan mandiri. Diakui oleh ketuanya Suharyanto, penggunaan pakan mandiri mampu meningkatkan pendapatannya hingga 50%. Pokdakan ini mampu memproduksi pakan mandiri 150 kg hingga 200 kg per hari, dari total tersebut 80% digunakan sendiri dan 20% dijual ke pembudidaya lain.
 djpb1    25 September 2019   Dilihat : 458

sumber : KKP, DJPB   https://kkp.go.id/djpb


Jumat, 02 Agustus 2019

SEGMENTASI PENDEDERAN GURAME


SEGMENTASI PENDEDERAN GURAME
Segmentasi Pendederan Gurami
Foto: rizki


Tiap ukuran pendederan ikan gurami mempunyai pasar masing-masing

Gurami merupakan salah satu komoditas perikanan yang cukup memiliki nilai ekonomis. Pasalnya, kini dari mulai rumah makan hingga restoran mewah menyajikan ragam menu gurami. Namun siapa sangka dibalik kelezatan dan manisnya daging gurami memiliki proses budidaya yang sangat panjang, dan tak semua pembudidaya sabar memeliharanya. 
  
“Gurami merupakan ikan yang mempunyai segmentasi pendederan yang cukup banyak. Jika dihitung dari fase telur hingga ukuran panen 500 gram (gr) per ekor, memerlukan waktu kurang lebih 2 tahunan,” terang RC.R Tjahyo yang merupakan pembudiaya gurami kawakan asal Kota Bekasi-Jawa Barat. 
  
Dia pun menjelaskan, pendederan merupakan fase pemeliharaan ikan dari ukuran tertentu setelah pembenihan hingga mencapai ukuran tertentu sebelum masuk fase pembesaran. Di budidaya gurami ini, banyak ditemukan fase pendederan. Dimana pada umumnya dimulai dari pedederan telur gurami hingga mencapai ukuran kuku jempol, kemudian silet, tiga jari, bahkan sampai gurami ukuran 150 gr atau 1 kilogram (kg) isi 6 ekor masih tergolong benih. Karena sejatinya pangsa pasar untuk gurami konsumsi menerima ukuran minimal adalah 400-600 gr per ekor.
  
Kunci Pendederan 
Karena fase pendederannya yang cukup banyak maka baiknya dalam melakukan usaha budidaya gurami dilakukan secara berkelompok, dengan tujuan agar mempercepat masa pemeliharaan dan juga masa panen. “Namun, apabila ingin terjun dalam usaha budidaya gurami dan hanya berniat menjual benihnya saja tidak menjadi persoalan. Karena di tiap-tiap ukuran pendederannya mempunyai pasar masing-masing,” beber Tjahyo selaku ketua Kelompok Budidaya Ikan (Pokdakan) Pamahan 1. 


Fredrick Tiagita Putra yang juga salah satu anggota Pokdakan Pamahan 1 dipercayai Tjahyo mengenai urusan benih gurami. Ia menjelaskan, pendederan pertama gurami dimulai dari telur hingga ukuran kuku jempol atau bisa distandarkan dengan ukuran bak sortir lele nomor 4-5. Jika diukur panjang badan rata-rata benih sekitar 1,8 sentimeter (cm). 
  
Pendederan pertama tersebut biasanya memerlukan waktu selama 40-50 hari, dengan mengutamakan cacing sutera (Tubifex.sp) sebagai pakannya. Setelah ukuran kuku jempol, sambung Fredrick, ukuran pendederan selanjutnya adalah silet. Yang dimaksud disini adalah pemeliharaan benih gurami dipelihara dari mulai kuku jempol hingga mencapai ukuran silet (pisau cukur berbentuk persegi panjang). Dalam pemeliharaannya sudah menggunakan pakan buatan berupa pelet dengan ukuran yang kecil menyesuaikan bukaan mulutnya. Waktu yang dibutuhkan untuk melakukan pendederan kedua ini sekitar 1,5 - 2 bulan tergantung dari iklim dan juga teknik perawatan. 
  
“Kuncinya pada saat melakukan pemeliharan di fase pendederan pertama dan kedua adalah pergantian air kolam yang rutin. Tujuannya, untuk menjaga nafsu makan, sertamenjadi waktu penambahan vitamin tertentu. Sehingga nantinya benih dapat tahan dengan perubahan cuaca yang ekstrim dan pertumbuhannya cepat,” himbau Fredrick yang kini sedang menyelesaikan pendidikan doktoralnya. 
  
Menyambung Fredrick, Tjahyo mengungkapkan, indikator benih gurami yang sehat ditandai dari nafsu makan yang rakus. Karena selama nafsu makan benih rakus maka pertumbuhan ikan akan cepat besar. 
  
Pendederan ketiga adalah mencapai ukuran tiga jari, Tjahyo melanjutkan, pemeliharaan dari ukuran silet menuju tiga jari membutuhkan waktu yang cukup lama sekitar 3 – 4 bulan. Dalam fase ini memiliki beberapa sisi keuntungan karena ikan yang dipelihara dari ukuran silet cenderung memiliki daya tahan lebih baik dibandingkan dengan ukuran di bawahnya. 

Sumber : di majalah TROBOS Aqua Edisi-85/15 Juni – 14 Juli 2019

Senin, 01 April 2019

KKP KEMBANGKAN TEKNOLOGI BUDIDAYA BARU, SISTEM BIOFLOK UNTUK IKAN NILA


KKP KEMBANGKAN TEKNOLOGI BUDIDAYA BARU, SISTEM BIOFLOK UNTUK IKAN NILA
Setelah sebelumnya sukses mengembangkan teknologi budidaya sistem bioflok untuk ikan Lele, kini Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) melalui Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya (DJPB) bekerjasama dengan peneliti Institut Pertanian Bogor (IPB) menerapkan teknologi ramah lingkungan tersebut untuk ikan Nila.
Direktur Jenderal Perikanan Budidaya, Slamet Soebjakto, dalam sambutannya saat launching Budidaya Ikan Nila Sistem Bioflok dan Sosialisasi Program Prioritas di Balai Besar Perikanan Budidaya Air Tawar (BBPBAT) Sukabumi (Rabu 18/4), menyampaikan bahwa penerapan dan pengembangan budidaya Nila sistem bioflok merupakan hasil inovasi tanpa henti yang terus dilakukan oleh DJPB terhadap teknologi yang efektif dan efisien termasuk dalam penggunaan sumberdaya air, lahan dan mampu beradaptasi terhadap perubahan iklim.
”fenomena perubahan iklim, penurunan kualitas lingkungan global, perkembangan dan ledakan jumlah penduduk merupakan tantangan dalam upaya mewujudkan ketahanan pangan sehingga mau tidak mau harus diantisipasi, karena secara langsung akan berdampak pada penurunan suplai bahan pangan bagi masyarakat”ujarnya
“untuk itu, semua pelaku perikanan budidaya harus terus mengedepankan Iptek dalam pengelolaan usaha budidaya ikan yang berkelanjutan. Intinya dengan kondisi saat ini, produktivitas budidaya harus bisa dipacu dalam lahan terbatas dan dengan penggunaan sumberdaya air yang efisien”, lanjutnya.
Terkait pengembangan di masyarakat, Slamet menyampaikan bahwa sebagaimana untuk ikan lele yang saat ini sudah sangat populer, budidaya ikan Nila sistem bioflok juga akan didorong pengembangannya di pesantren-pesantren dan kelompok masyarakat lainnya serta di daerah-daerah terpencil, perbatasan dan potensial.
“teknologi bioflok ini akan terus didorong agar diterapkan terhadap berbagai komoditas dan berbagai daerah sehingga menjadi solusi untuk memenuhi kebutuhan gizi masyarakat, apalagi saat ini produk Nila di beberapa daerah menjadi sumber gizi yang digemari, bahkan seperti di papua dan Lombok dan NTB pada umumnya”, imbuh Slamet.
Seiring dengan penertiban keramba jaring apung (KJA) di perairan umum seperti danau, waduk dan lainnya, Slamet optimis bahwa teknologi ini dapat menjadi solusi bagi pembudidaya ikan yang selama ini mengandalkan perairan umum sebagai tempat berbudidaya ikan Nila sebagai komoditas utamanya, agar pindah ke daratan dan menerapkan teknologi bioflok.
Keunggulan Budidaya Nila Sistem Bioflok
Kepala Balai Besar Perikanan Budidaya Air Tawar (BBPBAT) Sukabumi, Supriyadi menjelaskan bahwa penerapan teknologi sistem bioflok untuk ikan Nila tidak terlepas dari filosofi bahwa ikan ini secara alami merupakan ikan herbivora dan mampu mencerna flok yang tersusun atas berbagai mikroorganisme, yaitu bakteri, algae, zooplankton, fitoplankton, dan bahan organik sebagai bagian  sumber makanannya.
Sebagai informasi, ada beberapa keunggulan budidaya ikan Nila dengan sistem bioflok, yaitu: pertama, dapat meningkatkan kelangsungan hidup atau survival rate (SR) hingga lebih dari 90 % dan tanpa pergantian air.  Air hasil budidaya ikan nila dengan sistem bioflok tidak berbau, sehingga tidak mengganggu lingkungan sekitar dan dapat disinergikan dengan budidaya tanaman misalnya sayur-sayuran dan buah-buahan. Hal ini dikarenakan adanya mikroorganisme yang mampu mengurai limbah budidaya menjadi pupuk yang menyuburkan tanaman.
Kedua, Feed Conversion Ratio (FCR) atau perbandingan antara berat pakan yang telah diberikan dalam satu siklus periode budidaya dengan berat total (biomass) yang dihasilkan pada ikan nila mampu mencapai angka 1,03, artinya  penggunaan pakan sangat efisien untuk menghasilkan 1 kg ikan Nila hanya membutuhkan 1,03 kg pakan. Jika dibandingkan dengan pemeliharaan di kolam biasa FCRnya mencapai angka 1,5.
Ketiga, padat tebarnya pun mampu mencapai 100-150 ekor/m3 atau mencapai 10-15 kali lipat dibanding dengan pemeliharaan di kolam biasa yang hanya 10 ekor/m3.
Keempat, aplikasi sistem bioflok pada pembesaran ikan nila juga telah mampu meningkatkan produktivitas hingga 25 – 30 kg/m3 atau 12-15 kali lipat jika dibandingkan dengan di kolam biasa yaitu sebanyak 2 kg/m3.
Kelima, waktu pemeliharaan lebih singkat, dengan benih awal yang ditebar berukuran 8 – 10 cm, selama 3 bulan pemeliharaan, benih tersebut mampu tumbuh hingga ukuran 250 – 300 gram/ekor sedangkan untuk mencapai ukuran yang sama di kolam biasa membutuhkan waktu 4-6 bulan.
Keenam, Ikan Nila dari hasil budidaya sistem bioflok lebih gemuk sebagai hasil pencernaan makanan yang optimal. Komposisi daging atau karkasnya lebih banyak, juga kandungan air dalam dagingnya lebih sedikit.
Secara bisnis, budidaya ikan Nila juga sangat menguntungkan. Harganya cukup baik dan stabil di pasaran yaitu Rp. 22 ribu per kg.
Dalam pemeliharaan ikan Nila sistem bioflok yang perlu dijaga adalah kandungan oksigen yang larut di dalam air, karena oksigen disamping diperlukan ikan untuk pertumbuhan juga diperlukan oleh bakteri untuk menguraikan kotoran atau sisa metabolisme di dalam air. Pada ikan nila, kadar oksigen terlarut (DO) di dalam media sebaiknya dipertahankan minimal 3 mg/L.
"Saya mengingatkan agar teknologi bioflok di masyarakat bisa dikawal oleh UPT-UPT dan para penyuluh agar tidak keliru menerapkannya, juga harus diterapkan secara benar sesuai kaidah-kaidah cara budidaya ikan yang baik seperti benihnya harus unggul, pakannya harus sesuai standar SNI, parameter kualitas air seperti oksigen juga harus tercukupi" pesan Slamet mengakhiri sambutannya.
 djpb1    18 April 2018   Dilihat : 12834

sumber : KKP, DJPB   https://kkp.go.id/djpb