Belut-belut itu sengaja dibesarkan di
media tidak lazim: hanya air, bukan campuran lumpur, jerami, dan kompos.
Sang peneliti, Ir Ign Hardaningsih MSi, ingin meneliti pertumbuhan
belut yang dipelihara di media air. Ia menebar 30 Monopterus albus di akuarium. Air berasal dari sumur ber pH netral, 7.

Agar tidak stres saat dipindah ke media
air, belut diadaptasikan terlebih dulu. Caranya, Hardaningsih memuasakan
belut-belut itu selama 2 pekan. ‘Setelah dipuasakan, baru diberi pakan
berupa burayak ikan dan ikan kecil lain,’ ujarnya. Cacing tanah
sebetulnya bisa diberikan, tapi harganya relatif mahal. Lumbricus itu
mencapai Rp25.000/kg.

Selain pakan, ketua Laboratorium
Pembenihan dan Pemuliaan Ikan Jurusan Perikanan, Fakultas Pertanian
Universitas Gadjah Mada itu mengganti air sebulan sekali. Suhu ruangan
laboratorium diatur pada kisaran 26 – 28oC. ‘Suhu agak hangat
karena belut biasa hidup di sawah yang penuh bahan organik
terdekomposisi,’ kata dosen pemuliaan ikan, reproduksi, dan genetika
dasar itu. Dekomposisi itu membuat suhu media meningkat. Nah, setelah 4
bulan dipelihara di akuarium, belut-belut itu tumbuh hingga seukuran
jempol orang dewasa dan tidak ada satu pun yang mati.
Penyakit
Tak hanya Hardaningsih, beberapa
peternak sebetulnya sudah berupaya membesarkan belut di air. Budi
Kuncoro Spi misalnya, mencoba membesarkan belut di bak plastik berisi
air bersih. Tak tanggungtanggung, peternak di Semarang, Jawa Tengah, itu
melakukannya dalam 7 bak berukuran 1 m x 3 m sekaligus. Masing-masing
bak diisi 15 kg bibit belut berukuran 120 ekor/kg.
Sama seperti Hardaningsih, Budi juga
memberikan pakan berupa ikan-ikan kecil. Namun, awalnya belut-belut itu
tidak mau menyantapnya. ‘Mungkin karena stres akibat perubahan media,’
ujar ketua Gabungan Orang Belut Semarang (GOBES) itu. Apalagi, fluktuasi
suhu air di dalam bak cukup tajam, siang mencapai 29oC dan malam turun hingga 24oC.
Belut pun terlihat stres saat Budi
melintasi tepian bak. ‘Belut-belut itu seperti tersentak dan bergerak
bersama-sama,’ katanya. Dampaknya, dalam waktu kurang dari sepekan,
banyak dijumpai belut mati. ‘Di tubuhnya seperti ada bercak-bercak
merah,’ kata alumnus Universitas Diponegoro itu. Ia pun mengambil
inisiatif menambahkan heater pada bak pembesaran. Tujuannya agar suhu
bisa dijaga stabil, sehingga mengurangi stres belut.
Itu cukup berefek. Beberapa belut mulai
mau menyantap pakan hidup yang diberikan. Sayang, tindakan itu terlambat
dilakukan. Penyakit bercak-bercak merah keburu menjalar ke belut-belut
lain. ‘Ujungnya, semua belut itu mati dalam waktu 3 minggu,’ kenang
Budi. Ia menduga penyakit itu disebabkan serangan bakteri aeromonas.
Belut rawa
Berbeda dengan 2 pendahulunya, M Fajar
Junariyata MKom membesarkan belut di bak air bersih, memakai bibit belut
rawa Monopterus sp. Alasannya, ‘Belut rawa lebih tahan dengan media
air,’ kata penjual bibit belut di Sentul, Bogor, Jawa Barat, itu. Cukup
masuk akal karena habitat belut rawa didominasi air.
Fajar menggunakan 2 bak berukuran 1.000
liter yang masing-masing dibelah 2. Pertengahan Januari 2009 Fajar
membenamkan 25 kg belut rawa berukuran 30 ekor/kg pada tiap bak yang
berisi air 1 jengkal. Air itu diganti 100% setiap hari. Pakan yang
diberikan terdiri dari ikan kecil, cacing tanah, dan pelet ikan
berukuran kecil. Pemeliharaan selama 3 bulan menunjukkan hasil
memuaskan. Ukuran belut menjadi 15 ekor/kg. Sayang beberapa belut
terserang bercak merah sehingga tiap hari selalu ditemukan 2 – 3 ekor
mati.
Ketika Trubus bertandang ke rumah
pendiri Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat Baitul Ilmi itu pada
pertengahan Mei 2009, ada 2 bak belut yang belum dipanen. Pada tiap bak
terdapat sekitar 3 kg belut berbobot rata-rata 10 ekor/kg. ‘Sebagian
yang lain sudah laku dijual,’ kata Fajar yang menaksir total produksi
belut dari 4 bak itu sekitar 2 kuintal.
Mudah dicek
Menurut Ade Sunarma MSi, periset di
Balai Besar Pengembangan Budidaya Air Tawar (BBPBAT), Sukabumi, Jawa
Barat, belut berpotensi dikembangkan di media air. ‘Dengan media air,
tingkat kematian dan pertumbuhan belut gampang dicek,’ ujar Ade. Dalam
budidaya konvensional, peternak mesti membongkar media untuk mengecek.
Media air itu juga mengurangi dampak
negatif teritorialisme. ‘Pada media lumpur belut menerapakan
teritorialisme – penguasaan wilayah’ kata Hardaningsih. Jika ada belut
lain yang masuk teritori, pemilik teritori tak segan-segan membunuh
penyusup yang mendatangi lubangnya. ‘Saya sering menemukan belut yang
dipelihara di media lumpur tak berkepala. Lehernya putus bekas digigit,’
ujar Fajar. Di 4 bak pembesaran belut yang menggunakan air bersih, tak
pernah dijumpai hal semacam itu.
Meski media tanpa lumpur banyak
keunggulan, tapi stres dan penyakit masih menghantui peternak. Untuk
itulah Hardaningsih menyarankan agar menjaga stabilitas suhu air dan
adaptasikan bibit sebelum ditebar. Dengan cara itu belut-belut
penelitiannya tidak stres kendati banyak orang lalu-lalang dan mengambil
gambarnya. Sementara untuk pertumbuhan yang relatif lambat, dapat
diatasi dengan mengatur padat penebaran dan pemberian pakan yang cukup.
Soal ukuran bibit yang layak tebar, para
peternak dan peneliti sepakat: makin besar bibit, makin tahan hidup di
dalam media air. Ukuran bibit optimal? Belum ada penelitian. Toh
kenyataan belut dapat hidup dan tumbuh besar tanpa media lumpur
menunjukkan budidaya belut sudah selangkah lebih maju.sumber : trubus online
Tidak ada komentar:
Posting Komentar